Cerita Wakil Ketua Komisi III soal Ide Pembentukan Densus Tipikor
Wakil Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan (Andhika Prasetya/detikcom)
Jakarta - Wakil Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan mengatakan lahirnya Densus Tipikor bukanlah hal terencana dan tidak bermaksud melemahkan KPK. Ide terbentuknya Densus Tipikor muncul dari kegelisahan Komisi III terhadap pemberantasan korupsi yang dilakukan Polri.
"Pada tempo hari memang, kira-kira bulan 2 atau bulan 3 kami kan rapat rutin 2-3 bulan sekali dengan 14 pasangan kerja Komisi III. Nah, kita muncul pertanyaan dari kawan-kawan Komisi III, kok Polri ini nggak gereget dalam pemberantasan korupsi. Nah, seperti apa tindakan-tindakan Polri, dari Bareskrim, Wakabareskrim, Dirtipikor, dan di tingkat polda ada dirkrimsus. Nah, itu seperti apa, pengamatan beliau, evaluasi beliau," kata Trimedya di gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (17/10/2017).
Trimedya menyebut Kapolri Jenderal Tito Karnavian sebagai sosok yang berprestasi, sehingga Komisi III punya harapan besar terhadap Tito.
"Karena kalau kita cerita awal tahun kan Pak Tito baru menjadi Kapolri, kami melihat sosok Pak Tito ini cukup punya kapasitaslah, untuk diharapkan membawa Polri ini ke arah yang lebih baik," terangnya.
Dari diskusi dengan Tito, Komisi III tahu Polri punya lembaga Kriminal Khusus (Krimsus) yang juga menangani korupsi. Memang diakui Krimsus belum fokus menangani perkara korupsi dan ada kendala lainnya.
"Kemudian Pak Tito menceritakan, 'Memang kami punya Krimsus, tapi kami belum fokus penanganan korupsi.' Kami masih melihat seperti apa arah evaluasi dari seperti yang sampaikan tadi. Evaluasi dari Kabareskrim, kemudian jajaran di bawahnya seperti apa," paparnya.
"Dan kami punya kendala bahwa anak-anak, kalau Kapolri kan selalu bicara seperti, anak-anak di bawah ini kalau kita genjot mereka juga akan melihat, kalau dia keras bagaimana soal kariernya, kemudian kami juga kurang tega juga soal penghasilan mereka," sambung politikus PDIP itu.
Dari situ Komisi III mulai memunculkan ide soal pembentukan lembaga khusus. Kemudian muncullah istilah Densus Tipikor dari Tito.
"Akhirnya kita minta kepada Pak Tito, bagaimana kalau ada lembaga khusus. Dan dari diskusi-diskusi itu yang menemukan istilah densus itu adalah Pak Tito sendiri. Mungkin karena beliau punya pengalaman di densus teroris, beliau menyampaikan itu. Kemudian kita sepakat dengan istilah itu. Masuklah dalam kesimpulan rapat," ucap Trimedya.
Dia mengatakan usulan itu akhirnya dimasukkan dalam kesimpulan rapat. Kemudian Tito diminta menyiapkan detail soal konsep hingga penganggaran Densus Tipikor pada rapat selanjutnya.
"Jadi itu ide dasarnya, tidak ada by design, dan tidak ada juga upaya ingin bersaing dengan konteks yang negatif dengan KPK. Karena sampai kemarin semua pimpinan KPK setuju dengan Densus Tipikor. Saya kira itu kan sampai jam 2 rapat terbuka setelah itu tertutup. Setuju tuh pimpinan KPK semua, dengan Densus tidak ada yang keberatan. Bahkan saya baca statement Pak Laode, dia bilang memang korupsi di negara kita ini harus dikeroyok," urainya.
Soal anggaran Rp 2,6 triliun, Trimedya menyebut hal itu sepadan untuk penanganan korupsi. Trimedya kemudian memaparkan soal anggaran untuk pemberantasan korupsi.
"Kalau anggaran sudah kita bantu dari kesimpulan rapat itu pemaparan Pak Tito kemudian dimunculin anggaran 2,6 triliun itu, kemudian ada juga harapan, kalau selama ini Polri 208 biaya penanganan perkara tindak pidana korupsi, berbanding Rp 400-500 juta, di KPK dan di Polri itu sifatnya indeks," katanya.
"Kalau misalnya penyidik pergi ke Bandung ke Medan, ongkos pesawatnya diganti tidak at cost diberikan satu perkara itu. Dan itu yang kita harus mendengar nanti selanjutnya dari Pak Tito yang 30 persen ini menurut kami, nah seperti apa mekanisme kerjanya," sambungnya.
Trimedya menceritakan Tito sudah melaporkan soal pembentukan Densus Tipikor kepada Presiden. Menurutnya, Presiden Jokowi merespons positif.
"Hanya, Presiden meminta supaya dipaparkan di rapat terbatas di kabinet sana. Kemudian surat dari Kapolri kepada MenPAN sudah dikirim dalam rangka struktur. Tapi kami juga belum dijelaskan secara detail seperti apa strukturnya. Hanya disampaikan bahwa di pemimpinnya nanti ini bintang 2. Nah, bagaimana strukturnya di bawahnya itu, kemudian ditingkat polda, lalu kemudian bagaimana di tingkat polres satwil-satwil itu belum dijelaskan kepada kita," ucapnya.
Trimedya menambahkan rapat dengan Jaksa Agung supaya gampang berkoordinasi. Dia pun mengusulkan agar ada jaksa dan polisi khusus untuk desk tipikor.
"Niatnya beliau Kapolri supaya perkara itu tidak bolak-balik. Tapi Jaksa Agung berpendapat. Dan pilihan kedua mereka berkoordinasi seperti densus teroris, karena di kejaksaan juga ada desk soal teroris, jadi sudah tahu langsung. Tinggal cari jaksa-jaksa lain yang menangani teroris. Dan kedua, satgas tipikor ada di kejaksaan, jadi densus ini nanti berkoordinasi dengan satgas tipikor," katanya.
Trimedya pun menyebut landasan hukum pembentukan Densus Tipikor mengacu pada UU No 2/2002 tentang Polri. "Sama dengan pembentukan densus teroris, tidak ada yang ilegal ini barang densus tipikor ini," jelasnya. (ams/nvl)
Sumber : Aditya Mardiastuti
Wakil Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan (Andhika Prasetya/detikcom)
Jakarta - Wakil Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan mengatakan lahirnya Densus Tipikor bukanlah hal terencana dan tidak bermaksud melemahkan KPK. Ide terbentuknya Densus Tipikor muncul dari kegelisahan Komisi III terhadap pemberantasan korupsi yang dilakukan Polri.
"Pada tempo hari memang, kira-kira bulan 2 atau bulan 3 kami kan rapat rutin 2-3 bulan sekali dengan 14 pasangan kerja Komisi III. Nah, kita muncul pertanyaan dari kawan-kawan Komisi III, kok Polri ini nggak gereget dalam pemberantasan korupsi. Nah, seperti apa tindakan-tindakan Polri, dari Bareskrim, Wakabareskrim, Dirtipikor, dan di tingkat polda ada dirkrimsus. Nah, itu seperti apa, pengamatan beliau, evaluasi beliau," kata Trimedya di gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (17/10/2017).
Trimedya menyebut Kapolri Jenderal Tito Karnavian sebagai sosok yang berprestasi, sehingga Komisi III punya harapan besar terhadap Tito.
"Pada tempo hari memang, kira-kira bulan 2 atau bulan 3 kami kan rapat rutin 2-3 bulan sekali dengan 14 pasangan kerja Komisi III. Nah, kita muncul pertanyaan dari kawan-kawan Komisi III, kok Polri ini nggak gereget dalam pemberantasan korupsi. Nah, seperti apa tindakan-tindakan Polri, dari Bareskrim, Wakabareskrim, Dirtipikor, dan di tingkat polda ada dirkrimsus. Nah, itu seperti apa, pengamatan beliau, evaluasi beliau," kata Trimedya di gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (17/10/2017).
Trimedya menyebut Kapolri Jenderal Tito Karnavian sebagai sosok yang berprestasi, sehingga Komisi III punya harapan besar terhadap Tito.
"Karena kalau kita cerita awal tahun kan Pak Tito baru menjadi Kapolri, kami melihat sosok Pak Tito ini cukup punya kapasitaslah, untuk diharapkan membawa Polri ini ke arah yang lebih baik," terangnya.
Dari diskusi dengan Tito, Komisi III tahu Polri punya lembaga Kriminal Khusus (Krimsus) yang juga menangani korupsi. Memang diakui Krimsus belum fokus menangani perkara korupsi dan ada kendala lainnya.
"Kemudian Pak Tito menceritakan, 'Memang kami punya Krimsus, tapi kami belum fokus penanganan korupsi.' Kami masih melihat seperti apa arah evaluasi dari seperti yang sampaikan tadi. Evaluasi dari Kabareskrim, kemudian jajaran di bawahnya seperti apa," paparnya.
"Dan kami punya kendala bahwa anak-anak, kalau Kapolri kan selalu bicara seperti, anak-anak di bawah ini kalau kita genjot mereka juga akan melihat, kalau dia keras bagaimana soal kariernya, kemudian kami juga kurang tega juga soal penghasilan mereka," sambung politikus PDIP itu.
Dari situ Komisi III mulai memunculkan ide soal pembentukan lembaga khusus. Kemudian muncullah istilah Densus Tipikor dari Tito.
"Akhirnya kita minta kepada Pak Tito, bagaimana kalau ada lembaga khusus. Dan dari diskusi-diskusi itu yang menemukan istilah densus itu adalah Pak Tito sendiri. Mungkin karena beliau punya pengalaman di densus teroris, beliau menyampaikan itu. Kemudian kita sepakat dengan istilah itu. Masuklah dalam kesimpulan rapat," ucap Trimedya.
Dia mengatakan usulan itu akhirnya dimasukkan dalam kesimpulan rapat. Kemudian Tito diminta menyiapkan detail soal konsep hingga penganggaran Densus Tipikor pada rapat selanjutnya.
"Jadi itu ide dasarnya, tidak ada by design, dan tidak ada juga upaya ingin bersaing dengan konteks yang negatif dengan KPK. Karena sampai kemarin semua pimpinan KPK setuju dengan Densus Tipikor. Saya kira itu kan sampai jam 2 rapat terbuka setelah itu tertutup. Setuju tuh pimpinan KPK semua, dengan Densus tidak ada yang keberatan. Bahkan saya baca statement Pak Laode, dia bilang memang korupsi di negara kita ini harus dikeroyok," urainya.
Soal anggaran Rp 2,6 triliun, Trimedya menyebut hal itu sepadan untuk penanganan korupsi. Trimedya kemudian memaparkan soal anggaran untuk pemberantasan korupsi.
"Kalau anggaran sudah kita bantu dari kesimpulan rapat itu pemaparan Pak Tito kemudian dimunculin anggaran 2,6 triliun itu, kemudian ada juga harapan, kalau selama ini Polri 208 biaya penanganan perkara tindak pidana korupsi, berbanding Rp 400-500 juta, di KPK dan di Polri itu sifatnya indeks," katanya.
"Kalau misalnya penyidik pergi ke Bandung ke Medan, ongkos pesawatnya diganti tidak at cost diberikan satu perkara itu. Dan itu yang kita harus mendengar nanti selanjutnya dari Pak Tito yang 30 persen ini menurut kami, nah seperti apa mekanisme kerjanya," sambungnya.
Trimedya menceritakan Tito sudah melaporkan soal pembentukan Densus Tipikor kepada Presiden. Menurutnya, Presiden Jokowi merespons positif.
"Hanya, Presiden meminta supaya dipaparkan di rapat terbatas di kabinet sana. Kemudian surat dari Kapolri kepada MenPAN sudah dikirim dalam rangka struktur. Tapi kami juga belum dijelaskan secara detail seperti apa strukturnya. Hanya disampaikan bahwa di pemimpinnya nanti ini bintang 2. Nah, bagaimana strukturnya di bawahnya itu, kemudian ditingkat polda, lalu kemudian bagaimana di tingkat polres satwil-satwil itu belum dijelaskan kepada kita," ucapnya.
Trimedya menambahkan rapat dengan Jaksa Agung supaya gampang berkoordinasi. Dia pun mengusulkan agar ada jaksa dan polisi khusus untuk desk tipikor.
"Niatnya beliau Kapolri supaya perkara itu tidak bolak-balik. Tapi Jaksa Agung berpendapat. Dan pilihan kedua mereka berkoordinasi seperti densus teroris, karena di kejaksaan juga ada desk soal teroris, jadi sudah tahu langsung. Tinggal cari jaksa-jaksa lain yang menangani teroris. Dan kedua, satgas tipikor ada di kejaksaan, jadi densus ini nanti berkoordinasi dengan satgas tipikor," katanya.
Trimedya pun menyebut landasan hukum pembentukan Densus Tipikor mengacu pada UU No 2/2002 tentang Polri. "Sama dengan pembentukan densus teroris, tidak ada yang ilegal ini barang densus tipikor ini," jelasnya. (ams/nvl)
Dari diskusi dengan Tito, Komisi III tahu Polri punya lembaga Kriminal Khusus (Krimsus) yang juga menangani korupsi. Memang diakui Krimsus belum fokus menangani perkara korupsi dan ada kendala lainnya.
"Kemudian Pak Tito menceritakan, 'Memang kami punya Krimsus, tapi kami belum fokus penanganan korupsi.' Kami masih melihat seperti apa arah evaluasi dari seperti yang sampaikan tadi. Evaluasi dari Kabareskrim, kemudian jajaran di bawahnya seperti apa," paparnya.
"Dan kami punya kendala bahwa anak-anak, kalau Kapolri kan selalu bicara seperti, anak-anak di bawah ini kalau kita genjot mereka juga akan melihat, kalau dia keras bagaimana soal kariernya, kemudian kami juga kurang tega juga soal penghasilan mereka," sambung politikus PDIP itu.
Dari situ Komisi III mulai memunculkan ide soal pembentukan lembaga khusus. Kemudian muncullah istilah Densus Tipikor dari Tito.
"Akhirnya kita minta kepada Pak Tito, bagaimana kalau ada lembaga khusus. Dan dari diskusi-diskusi itu yang menemukan istilah densus itu adalah Pak Tito sendiri. Mungkin karena beliau punya pengalaman di densus teroris, beliau menyampaikan itu. Kemudian kita sepakat dengan istilah itu. Masuklah dalam kesimpulan rapat," ucap Trimedya.
Dia mengatakan usulan itu akhirnya dimasukkan dalam kesimpulan rapat. Kemudian Tito diminta menyiapkan detail soal konsep hingga penganggaran Densus Tipikor pada rapat selanjutnya.
"Jadi itu ide dasarnya, tidak ada by design, dan tidak ada juga upaya ingin bersaing dengan konteks yang negatif dengan KPK. Karena sampai kemarin semua pimpinan KPK setuju dengan Densus Tipikor. Saya kira itu kan sampai jam 2 rapat terbuka setelah itu tertutup. Setuju tuh pimpinan KPK semua, dengan Densus tidak ada yang keberatan. Bahkan saya baca statement Pak Laode, dia bilang memang korupsi di negara kita ini harus dikeroyok," urainya.
Soal anggaran Rp 2,6 triliun, Trimedya menyebut hal itu sepadan untuk penanganan korupsi. Trimedya kemudian memaparkan soal anggaran untuk pemberantasan korupsi.
"Kalau anggaran sudah kita bantu dari kesimpulan rapat itu pemaparan Pak Tito kemudian dimunculin anggaran 2,6 triliun itu, kemudian ada juga harapan, kalau selama ini Polri 208 biaya penanganan perkara tindak pidana korupsi, berbanding Rp 400-500 juta, di KPK dan di Polri itu sifatnya indeks," katanya.
"Kalau misalnya penyidik pergi ke Bandung ke Medan, ongkos pesawatnya diganti tidak at cost diberikan satu perkara itu. Dan itu yang kita harus mendengar nanti selanjutnya dari Pak Tito yang 30 persen ini menurut kami, nah seperti apa mekanisme kerjanya," sambungnya.
Trimedya menceritakan Tito sudah melaporkan soal pembentukan Densus Tipikor kepada Presiden. Menurutnya, Presiden Jokowi merespons positif.
"Hanya, Presiden meminta supaya dipaparkan di rapat terbatas di kabinet sana. Kemudian surat dari Kapolri kepada MenPAN sudah dikirim dalam rangka struktur. Tapi kami juga belum dijelaskan secara detail seperti apa strukturnya. Hanya disampaikan bahwa di pemimpinnya nanti ini bintang 2. Nah, bagaimana strukturnya di bawahnya itu, kemudian ditingkat polda, lalu kemudian bagaimana di tingkat polres satwil-satwil itu belum dijelaskan kepada kita," ucapnya.
Trimedya menambahkan rapat dengan Jaksa Agung supaya gampang berkoordinasi. Dia pun mengusulkan agar ada jaksa dan polisi khusus untuk desk tipikor.
"Niatnya beliau Kapolri supaya perkara itu tidak bolak-balik. Tapi Jaksa Agung berpendapat. Dan pilihan kedua mereka berkoordinasi seperti densus teroris, karena di kejaksaan juga ada desk soal teroris, jadi sudah tahu langsung. Tinggal cari jaksa-jaksa lain yang menangani teroris. Dan kedua, satgas tipikor ada di kejaksaan, jadi densus ini nanti berkoordinasi dengan satgas tipikor," katanya.
Trimedya pun menyebut landasan hukum pembentukan Densus Tipikor mengacu pada UU No 2/2002 tentang Polri. "Sama dengan pembentukan densus teroris, tidak ada yang ilegal ini barang densus tipikor ini," jelasnya. (ams/nvl)
Sumber : Aditya Mardiastuti
0 Komentar